APA ITU?
Wah payah amat!, begitu mungkin komentar anda-anda yang sudah lama bergelut dengan isu perubahan iklim. Kok bisa-bisanya.. ...hari gini nggak ngerti tentang perubahan iklim? Padahal, sudah begitu banyak penelitian dan kampanye tentang perubahan iklim (termasuk itu tuh filmnya AL Gore yang berjudul The Inconvenient Truth), koq ya masih ada ya, yang nggak ngeh tentang perubahan iklim ?
Benar lho ada! Dan bahkan persentasenya mungkin bisa mencapai lebih dari 75% penduduk dunia yang sudah lebih dari 6 milliar ini. Jujur saja angka 75% ini hanya estimasi kasar saya, kondisi sebenarnya jelas perlu dicari lebih dalam.

Jadi angka itu May be Yes, May be No. Kalau Yes, itu  berarti menjawab pertanyaan kenapa pemanasan global menunjukkan gejala kondisi yang semakin memburuk, dan bahkan ada negara besar dengan banyak orang-orang pinter, tetapi tetap tidak legowo untuk menandatangani Protokol Kyoto. Tapi kalau No, malahan akan memunculkan pertanyaan baru, ”kalau memang sudah pada tahu kenapa para peneliti masih terus mendapatkan data semakin berubahnya iklim bumi menuju (menurut para scientist itu) ke arah kondisi yang lebih buruk (pemanasan dan kekeringan di berbagai pojok bumi)?”.  
Berapapun angka persentase dari orang yang tidak mengetahui (dan mengadopsi dalam langkah-langkah hariannya) adanya perubahan iklim di bumi ini, satu hal pasti jelas bagi kita semua yakni bahwa ”Ide climate change yang dimotori dengan pemanasan global” masih tidak populer di dalam kehidupan setiap orang di bumi ini. Buktinya? Berbagai kampanye dan penelitian terus dilakukan, berbagai seminar, lokakarya, dan tulisan terus bermunculan dan berbagai program terus dilaksanakan oleh berbagai lembaga. Tidak akan mungkin ada asap kalau tidak ada api, tidak mungkin ada inisiatif, program, lokakarya atau apapun juga tentang global warming dan climate change, kalau tidak ada masalah dalam pemasyarakatannya. Betul?


Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, ”kenapa segala upaya, dana dan kegiatan, yang sudah dijalankan bertahun-tahun ini sampai detik ini masih belum berhasil? Saya yakin jawaban dari pertanyaan ini akan sangat bervariasi, tapi ijinkan saya untuk mengusulkan sebuah jawaban. Karena ”belum setiap orang yang sekarang tinggal di bumi ini mempunyai gambaran yang jelas (”crystal clear”) tentang bumi seperti apa yang mereka ingin dan benar-benar inginkan untuk tinggal, hidup dan berkarya”.

Sebagian besar orang mungkin mempunyai cita-cita ”tidak ingin tinggal di bumi yang penuh polusi, tidak ingin yang sumber daya alamnya sedikit, hiruk pikuk, penuh kriminalitas, sulit untuk memenuhi kebutuhan, penuh kemiskinan, banyak perang, penuh ekspolitasi manusia dlsb”, tapi itu yang mereka tidak inginkan, bukan yang mereka inginkan. Jadi fokus sebagian besar orang adalah pada hal yang mereka tidak inginkan, sehingga mereka akhirnya tidak tahu persis pada apa yang mereka inginkan! Apa artinya ini?, artinya banyak orang tidak mempunyai cita-cita ”dunia seperti apa yang mereka benar-benarkan inginkan untuk hidup mereka”. Hal inilah yang menyebabkan kenapa berbagai upaya untuk menjaga keberlangsungan hidup di bumi ini, selalu menemui jalan yang berliku dan berbatu.


Bumi ini dihuni dan digerakkan oleh setiap orang yang ada di dalamnya. Pelaku perubahan di bumi ini adalah every single person yang merupakan anggota dari lebih enam milyar orang yang ada sekarang ini. Sebuah ide yang diharapkan mempunyai pengaruh global harus bisa dimengerti dan menjadi prioritas bagi setiap orang yang sekarang tinggal di bumi kita ini. Saya tekankan sekali lagi, ”setiap orang”.

Kenapa? Karena setiap keputusan dari seseorang selalu akan berpengaruh pada orang lain, atau bahkan pada banyak orang lain. Apabila hanya 50% orang di bumi ini yang mengerti dan mau melakukan sesuatu, mungkin saja bisa diharapkan ada sedikit perubahan, tetapi itu tidak cukup. Lima puluh persen orang yang lain adalah merupakan kekuatan yang lebih dari cukup untuk membalikkan upaya ke titik nol atau malahan ke titik minus. Tujuh puluh lima persen juga belum cukup, 90% juga belum cukup. Jadi berapa? harus 100%. Iya betul 100% orang di bumi ini harus bisa mengerti dan betul-betul ngeh, apabila sebuah ide atau upaya perubahan ingin dicapai secara global. Kenapa?  Karena setiap orang memiliki 1.000.000.000.000 (1 triliun) sel otak yang selalu bergetar dan berpikir untuk menentukan kehidupan dan langkah-langkah yang harus diambilnya.


Apabila seekor lebah madu yang hanya mempunyai 7.000 sel otak saja mampu terbang berkilo-kilometer untuk mencari nektar bunga dan kembali ke sarangnya (tanpa GPS), melakukan tarian perkawinan yang menakjubkan, membangun sarang yang sangat komplek, berkembang biak, dan mencari lokasi untuk membuat sarang dengan kecocokan yang tinggi dengan lingkungannya. Bagaimana dengan seorang manusia yang mempunyai 1.000.000.000.000 sel otak? Jelas pasti akan sangat banyak yang bisa dilakukan (baik hal yang baik ataupun buruk bagi kehidupan di bumi). Bagaimana kalau 75% orang yang ada di bumi ini (kira-kira 4500.000.000 orang) dengan 45.1012 sel otaknya ternyata tidak mempunyai tujuan hidup dan cita-cita seperti apa bumi yang mereka inginkan untuk hidup? Apa yang terjadi ? Kebingungan ! alias dis-orientasi. Apa saja yang bisa mereka lakukan dengan 45.1012 sel otak mereka? Melakukan berbagai hal yang sangat kreatif tapi tidak satupun mengarah kepada pembentukan bumi yang berkelanjutan, yang nyaman untuk ditinggali, dan yang membahagiakan banyak orang.


Kenapa banyak orang tidak mempunyai cita-cita yang jelas tentang kehidupan dan bumi seperti apa yang mereka ingin tinggali dan hidup? Karena, sejak kecil sebagian besar dari kita tidak diperkenalkan dengan upaya membangun cita-cita (”dream building”). Di Indonesia misalnya, mulai kelas awal di SD kita sudah diajari tentang matematika, bahasa Indonesia, bahasa Asing dan Aseng (Inggris dan Mandarin), ppkn, sejarah, IPA, dan IPS, tapi tidak banyak sekolahan yang mengajarkan tentang membangun cita-cita, mengatur prioritas dan membangun kecakapan berpikir. Anak-anak kita sejak kecil hanya dirancang sebagai penerima pemikiran orang lain, misal belajar bahasa Asing itu penting (siapa nih yang bilang, anak yang sekolah atau Ayahnya?), dan tidak didorong untuk berpikir dan menggunakan 1 triliun sel otaknya dengan cerdas, untuk merancang hidupnya. Akibatnya pada saat ditanya apa cita-citanya? Pengin jadi Avatar, pengin jadi Ninja Turtle, pengin jadi pilot, pengin jadi dokter, pengin jadi artis,  ini kalau anak sampai kelas 3 SD, tapi kalau anak sudah kelas 6 SD, umumnya mulai susah menjawab apa cita-citanya. Apalagi kalau kita tanya pada anak kelas 2 atau 3 SMP, jawaban mereka tambah tidak jelas. Anak mau lulus SMA, tambah tidak jelas lagi. Mereka bingung! Sangat bingung (itulah yang menyebabkan kalau anda iseng tanya mahasiswa baru kenapa memilih fakultas yang dia pilih sebagian besar bingung untuk menjawabnya). Mungkin ada yang menjawab ”Saya masuk fakultas ini karena sekarang kepandaian dan ilmu IT itu lagi trend dan banyak dibutuhkan”, coba tanyakan ke mahasiswa tersebut ”apa dia bisa menjamin 10 tahun lagi ilmu IT juga masih trend, dan bisa menopang hidup dia?”. Jelas tidak. Kemampuan yang dibutuhkan untuk selalu bisa menjamin kehidupan seseorang bukanlah IT, Sosiologi, Ekonomi, Teknik ataupun Biologi tetapi adalah kecakapan dan fleksibilitasnya untuk berpikir, belajar dan bertindak.


Baru ditanya soal cita-cita kehidupan saja sudah bingung, coba anda tanya tentang kehidupan seperti apa yang mereka inginkan? Sungai seperti apa yang mereka inginkan lihat dan nikmati, laut seperti apa, halaman belakang rumah seperti apa, tetangga yang seperti apa, jalan ke kantor yang seperti apa, ruang di kantor yang seperti apa, temperatur bumi seberapa yang mereka inginkan untuk aktifitas sehari-hari, kualitas cahaya matahari yang diterima pada saat jogging seperti apa, dan seterusnya. Umumnya jawabannya adalah ”nggak tahu, ngapain dipikirin?” jangankan mikir climate change, mikir besok jadi apa saja sudah nggak nyampai?


Tanpa cita-cita yang jelas, itu adalah kenyataan kehidupan yang menggelayuti sebagian besar kita. Kita tidak pernah punya niat dan berani merancang kehidupan bumi seperti apa yang ingin kita dapatkan 10 tahun atau 20 tahun ke depan. Kenapa begitu, karena sebagian besar pendidikan yang kita ikuti, tidak direncanakan sesuai dengan cara kerja otak kita semua.


Otak kita selalu berpikir (bahkan saat kita tidur) dan setiap pemikiran selalu akan dimanifestasikan dalam kehidupan tergantung dengan tujuan dari kehidupan seseorang. Pikiran seseorang selalu terdiri dari pikiran sadar dan bawah sadar. Dan hampir 80% dari keputusan dan tingkah laku kita ditentukan oleh apa yang ada di dalam pikiran bawah sadar kita. Apabila terjadi ketidak selarasan pemikiran antara pikiran sadar (misalnya, pertamax bagus untuk atmosfer bumi), dan bawah sadar (kita harus ngirit...kita harus ngirit) maka pikiran bawah sadar selalu menang. Tetap saja pakai premium, yang jelas merusak udara dengan timbal dan sulfatnya.


Pendidikan yang dilakukan sejauh ini (termasuk kampanye pemanasan global dan perubahan iklim) baru menyentuh pikiran sadar seseorang saja, belum menembus ke dalam pikiran bawah sadar seseorang. Akibatnya, gerakan menjaga lingkungan, tidak pernah menjadi prioritas utama setiap orang yang hidup di bumi ini. Mungkin gerakan ini menjadi prioritas para pencinta lingkungan, tetapi saya yakin belum menjadi prioritas utama sebagian besar orang.



Silahkan coba iseng-iseng anda tanyakan pada seorang manajer sebuah perusahaan yang sedang naik karir (atau siapa saja)  ”Mas anda tahu kan bahwa CO dan CO2 sangat mempercepat pemanasan global? Tahu (itu jawabnya), ”Perusahaan anda ini menggunakan energi yang demikian besar dan mengepulkan CO dan CO2 yang cukup tinggi ke udara, Mas sebagai manajer marketing (yang tidak ada hubungannya dengan bagian produksi yang mengepulkan CO dan CO2), mau nggak memulai upaya perbaikan emisi CO dan CO2 dengan mengusulkan ke direksi untuk mengganti mesin-mesin produksi itu? Menggantinya dengan mesin yang emisi CO dan CO2 kecil. Kira-kira apa jawaban yang akan muncul? Mungkin saja dia jawab, mau, tetapi kemungkinan terbesarnya si Mas manajer ini tidak mau. Kenapa? Karena bukan merupakan prioritas hidupnya. Saat ini prioritas hidupnya adalah kedudukan di atas manajer. Kalau dia macam-macam mengurusi masalah mesin tua dengan emisi CO dan CO2 tinggi, bisa-bisa dia dicopot dan tidak jadi dapat posisi yang lebih tinggi. Pemikiran bawah sadarnya yang mengambil keputusan.

Apa solusinya?
Memulai upaya reorientasi pendidikan, dari yang semula hanya menyentuh pikiran sadar seseorang dan tanpa pernah membina kecakapan pemikiran, menjadi sebuah upaya pendidikan yang total dan mendorong seseorang untuk mempunyai tujuan hidup yang jelas. Pendidikan yang total selalu bisa menyentuh pikiran sadar dan sekaligus menembus pemikiran bawah sadar seseorang. Kenapa ini penting? Karena di dalam pikiran bawah sadar inilah bersemayam sistim kepercayaan seseorang.

Apakah seseorang akan bertindak atau tidak, sangat tergantung dengan sistem kepercayaan yang ada di dalam pikiran bawah sadarnya. Contoh sederhana, misalnya upaya pemerintah untuk mempopulerkan penggunaan kompor gas di DKI baru-baru ini (lihat Kompas 8/8/2007). Meski orang telah dikasih kompor gas gratis, dikasih tabung gas gratis, diberi contoh penggunaan, tetap saja begitu petugas yang memberi contoh pergi, kompor tidak dipakai. Takut meledak, harga gas mahal, ruang sempit, atau lebih baik di jual Rp. 100.000, untuk dibelikan minyak tanah. Hal itulah yang terjadi dan menjadi alasan kenapa gerakan itu terseok-seok. Intinya, bawah sadar orang-orang penerima kompor gas itu masih mempunyai banyak program yang tidak sinkron dengan penggunaan kompor gas. Kompor gas masih tidak terulis di dalam cita-cita hidupnya (atau worst,  mereka tidak punya cita-cita sama sekali, yahh..hidup mengalir saja). Apapun upayanya (bahkan memberi kompor gratis, dan ini merupakan upaya yang menyentuh pemikiran sadar), tetap tidak akan berhasil mendorong mereka untuk mengganti kompor minyak tanah ini dengan kompor gas. Yang perlu dilakukan sebenarnya adalah re-edukasi bawah sadarnya dan bagaimana meng- ”karantina” program lama tentang ”kompor minyak_tanah.exe”.


Anda pasti masih ingat pemikiran bawah sadar selalu menang (bahkan punya kekuatan 9x) dari pikiran sadar. Jadi apabila memang gerakan memperbaiki kehidupan di bumi ini (sehingga perubahan iklim bisa diarahkan menuju perbaikan hidup di bumi), mau dimasyarakatkan. Kuncinya adalah, mendidik masyarakat dan saya tekankan, setiap orang di dalam masyarakat (dan ini khususnya dimulai dari anak SD), untuk mampu berpikir dan merancang hidupnya, memilih kehidupan seperti apa yang dia harapkan, dunia seperti apa yang dia inginkan untuk hidup, dan prioritas cita-cita yang ingin dicapai.


Apabila seseorang tidak mempunyai atau tidak mampu merancang kehidupannya (terutama melalui pikiran bawah sadarnya),  maka orang tersebut biasanya hanya akan mengadopsi pilihan hidup yang sudah dirancang orang lain.

If you do not choose your life
Others will choose it for you
The life,however, is definitely not yours
-Bayu Ludvianto

Seorang anak yang berkembang tanpa tahu bagaimana merancang hidupnya (menentukan tujuan hidupnya, memilih dunianya dan menentukan prioritas tujuannya), akan berakhir sebagai orang dewasa dengan tujuan dan prioritas hidup yang tidak jelas. Dan ini yang nampaknya menjadi gejala global sekarang ini. Buktinya? Our earth is going nowhere. Di satu pojok dunia itu menyenangkan, dan penuh kehidupan (silahkan intip kehidupan segelintir orang yang mampu mendapatkan yang terbaik dari bumi ini, rumah yang luas, dengan halaman hijau, burung berkicau di halaman belakang, rumah adem dan asri), dipojok lain, dunia ini begitu menyulitkannya, sumber daya alam habis, pencemaran, kenaikan temperur harian, banjir, hutan gundul di sana-sini.


Gerakan lingkungan sejauh ini yang hanya memunculkan hal-hal yang tidak menyenangkan, menekan, dan menyedihkan, sebaiknya mulai dikurangi. Global warming, pencemaran, jumlah spesies harimau menurun tajam, terumbu karang tambah rusak, hutan gundul, air sungai penuh polutant, adalah hal-hal yang tidak kita inginkan. Hal-hal yang kita takuti.

”Jika Anda dapat melihatnya di dalam benak,
Anda akan menggenggamnya di tangan”
-Bob Proctor

Segala sesuatu selalu diciptakan dua kali, pertama dalam pikiran kita dan ke dua, dalam kenyataan. Kalau kita berkonsentrasi (dengan pikiran kita) pada kekurangan, kesulitan, kerusakan, maka itulah yang akan kita dapat. Kenapa? Karena fokus kita adalah pada hal-hal tersebut. Secara tidak sadar ”kita mencita-citakan” hal tersebut. Pikiran kita hanya bisa fokus pada satu hal pada suatu saat. Kalau kita fokus pada kesulitan, kekurangan, masalah, dan kehancuran, maka disitulah energi kita akan mengalir.

Sebaliknya kalau kita bisa merencanakan kehidupan seperti apa yang kita inginkan, dunia dan bumi seperti apa yang kita harapkan kita hidup, di situ pulalah energi kita akan mengalir. Dan di situ pulalah kita akan berkreasi dan saling mendukung. Pikiran mengarahkan energi kita.


Bumi yang reyot, penuh kemiskinan, kerusakan, kriminal dan kekurangan atau bumi yang penuh keberlimpahan, senyum, kasih sayang, matahari yang hangat dan sungai yang jernih dan burung beterbangan dengan gembiranya.


Bumi mana yang anda pilih? 
Fokuslah di situ, karena kita hanya bisa berkonsentrasi pada satu hal
 http://murjito9.blogspot.com/2011/12/climate-change.html
 
Top